Cinta dan Sampah

Cerpen David Albahari (Koran Tempo, 12 April 2015)

20150412

(Gambar oleh Munzir Fadly)

KETIKA Magda berkata kepadaku bahwa hubungan kami telah berakhir, aku tidak berpikir tentang sampah. Dia berkata begitu dengan tiba-tiba, amat lancar, saat kami makan malam dan seharusnya merayakan ulang tahun kebersamaan kami yang kelima sejak awal berpacaran.

Aku baru saja berdiri, mengangkat gelas, dan menyatakan hendak bersulang, saat dia memotong, “Turunkan gelas dan tutup mulutmu—aku punya hal penting yang mau kukatakan kepadamu.”

Suaranya sekonyong-konyong jadi terdengar dingin sehingga aku merasa kupingku membeku. Aku duduk, menaruh gelas, dan menatap Magda. Tak bisa kuterka apa yang bakal dikatakannya. Seulas senyum masih saja bermain di bibirku. Magda menggeser letak botol anggur, bubuk garam, asbak, vas bunga—pokoknya segala yang terletak di antara kami—lalu berkata, “Kurasa sebaiknya kamu berhenti cengengesan.”

Suaranya begitu dingin sehingga aku tahu aku tak punya pilihan lain. Dengan jemariku kuusap bibirku yang membeku dan terus menatapnya. “Ini tak akan lama,” ucapnya lalu melanjutkan berbicara selama lebih dari dua puluh menit.

Dia mengatakan hal-hal yang biasa diucapkan orang dalam situasi semacam itu: bahwa kami pernah berbahagia bersama, sungguh luar biasa kami pernah punya kesempatan untuk lebih saling mengenal, ada saat-saat yang akan dia kenang selamanya, betapa memalukan kami sampai harus berpisah, tapi hidup ini punya aturan-aturan tertentu yang harus dipenuhi.

“Pendeknya,” dia bilang, “ini akhir hubungan kita dan kini aku harus pergi.” Dia kembali memindahkan asbak sehingga berada di antara kami, mematikan rokoknya di asbak, dan beranjak pergi.

Pramusaji menghampiri meja setelahnya dan bertanya kepadaku apakah aku mau memesan sesuatu untuk hidangan penutup. “Kenapa tidak,” ujarku dan memesan crepes isi cokelat. Pramusaji itu mengangguk, mengosongkan asbak lalu menaruhnya di dekatku. Tak ada orang lain sama sekali di seberang meja. Saat itulah, tepatnya, gagasan tentang sampah melintas di benakku.

Itu semua bermula kala aku meminta pakaian dalam yang dia pakai pada malam ketika kami bercinta untuk kali pertama. Sebenarnya, malam itu dia tidak mengenakan pakaian dalam. Sebab, saat melakukan percumbuan awal, kami melepas seluruh pakaian kami. Setelahnya, saat dia hendak berpakaian, kuraih celana dalam dan kutangnya seraya berkata, “Tinggalkan ini di sini.” Magda memprotes, beralasan dia tak sanggup berjalan di tengah kota tanpa pakaian dalam. Namun, akhirnya dia menyerah. “Mau kamu apakan pakaian dalam itu?” Kukatakan kepadanya hal pertama yang melintas di benakku, “Ini awal mula museum cinta kita.”

Demikianlah kisahnya bagaimana aku menjadi kurator museum cinta kami dan terus memantau hubungan Magda dan diriku. Setiap potongan kertas, tisu, tiket bioskop, kartupos, label pakaian, stoking robek, kantong teh celup kamomil bekas, pena yang sudah habis tintanya, bekas bungkus pasta gigi, resep kue cokelat yang buruk fotokopiannya, baju renang yang dia pakai saat kami berlibur di Yunani, guntingan foto-foto, selimut dari pesawat, kaleng-kaleng kosong—kubawa semuanya ke apartemenku dan kusimpan di dalam kotak-kotak penyimpanan serta album foto.

Aku membingkai dan menata semua itu di atas rak-rak. Aku bahkan punya herbarium tempat mengawetkan bunga-bunga dan dedaunan dari tumbuhan miliknya dan dari buket yang dia terima dalam berbagai peristiwa. Di sebuah kotak, aku bahkan memelihara rayap-rayap yang harus kutangkap dengan amat susah-payah. Kusimpan mereka karena dia memiliki fobia terhadap binatang-binatang itu. Dalam berbagai buku dan fail, kusimpan catatan dan rekam data yang amat rinci tentang semua benda itu: selain deskripsi tentang setiap benda, kucatat juga di mana dan bagaimana hingga benda-benda itu menjadi bagian museum kami, serta di mana tepatnya letak benda-benda tersebut di apartemenku.

Hal terakhir itu sungguh amat penting karena selama lima tahun kami berkencan—yang berarti selama itu pula museum ini berdiri dan beroperasi—apartemenku telah menjadi gudang beragam kantong, kotak, fail, lemari penyimpanan data, dan rak, atau—seperti yang sering kukatakan kepada Magda—“labirin cinta kita yang menakjubkan”.

Kini aku berdiri di dalam labirin itu—dan rupanya Magda telah lama menemukan jalan ke luar dari situ—dan menatap heran saat ternyata semua benda itu kini telah kehilangan kilaunya. Segala yang hingga kemarin merupakan pengingat dan rekaman cinta kami, kini telah menjadi sekadar beban kenangan, limbah tak berguna, sampah. Dan jika sebelumnya hatiku akan terenyuh setiap kali teringat pada, katakanlah, sehelai kertas yang digunakan Magda untuk menyeka keningnya, kini yang ada hanyalah bau busuk yang meruap dari sebuah kantong yang dipenuhi tisu-tisu bekas dia pakai. Kusadari, cinta ternyata tak hanya buta, tapi juga tuli, menumpulkan penciuman, serta menghambat indra perasa dan peraba.

Apartemenku terletak di lantai lima sebuah gedung yang tak dilengkapi lift. Saat aku membuangi apa yang hingga belum lama ini menjadi koleksi museum cintaku, otot-ototku terasa ngilu akibat kerja keras. Kukutuk cinta dan Magda dan takdir yang telah mempertemukan kami serta sebab yang telah memisahkan kami. Diriku sendiri, secara alamiah, tak kusebut di dalamnya. Sebab, setahuku, ini bukanlah kesalahanku. Memang benar, seiring bertambah dahsyatnya koleksi museum cinta kami, aku lebih berkembang menjadi seorang kurator ketimbang seorang kekasih. Tapi aku melakukan semua itu justru demi cinta, bukan untuk merongrong cinta kami. Seandainya Magda bersedia mendengarkan aku, segalanya pasti akan jauh berbeda. Tapi kini semua sudah terlambat.

Aku berdiri di sisi tong sampah besar, membuka kotak terakhir dan membuang sisa koleksi museum: baju dalam Magda yang talinya sudah putus; kotak kentang McDonald’s berminyak (dengan kata “Budapest” tertulis di sudut); bebat lutut Magda yang kotor (dua pasang); satu dus besar kondom (belum dipakai; yang sudah dipakai, karena Magda bersikeras menolak, tak kusimpan); piyama yang dikenakan Magda ketika kali pertama dia mengatakan bahwa dia mencintaiku; hasil tes dokter yang memastikan dia hamil (tapi ternyata tidak); hasil tes dokter yang memastikan dia tidak hamil (tapi ternyata hamil); secarik kertas yang ditulisi Magda: kamu dan aku? (dan aku tak tahu kata-kata apa yang mendahului pertanyaan itu); dan banyak lagi barang yang satu demi satu, tanpa pandang bulu, kulemparkan ke dalam tong sampah besar untuk menjalani proses transformasi tragis dari koleksi museum yang bernilai menjadi remah sampah kota yang tak bermakna.

Aku takjub sendiri pada betapa cepatnya saat cinta lenyap bersamaan dengan hati yang berbalik seperti kaos kaki, meski aku yakin ini bukan salahku. Sampah itu berguna, terutama jika didaur ulang. Namun, cinta yang tak berbalas sungguh hanyalah dedak yang bisa membelenggu hati. Tak lebih. Sampah masih lebih baik.(*)

  

David Albahari adalah penulis kelahiran Serbia, 1948. Pada 1994 ia hijrah ke Calgary, Kanada. Cerita di atas dialihbahasakan oleh Anton Kurnia dari terjemahan bahasa Inggris Ellen Elias-Bursac.

3 pemikiran pada “Cinta dan Sampah

  1. Sebab ini adalah cerita terjemahan, saya jadi tidak tahu harus mengalamatkan feedback saya ini ke mana, apakah ke si penulis atau si penerjemah. Kita tahu tidak setiap hasil terjemahan merepresentasikan teks aslinya. Kadang lebih baik, kadang lebih buruk. Suatu ketika, misalnya, saya membaca cerita Haruki Murakami yang diterjemahkan oleh Habi Hidayat dan saya mendapati cerita versi bahasa Inggrisnya dari Philip Gabriel masih jauh lebih baik daripada cerita tersebut. Di kesempatan lain, saya membaca pengakuan Wislawa Szymborska bahwa menurutnya apa yang membuatnya dinobatkan meraih nobel adalah karena hasil terjemahan puisi-puisinya ke dalam bahasa Inggris sangatlah bagus–Syzmborska merasa puisi-puisinya itu, dalam bahasa aslinya, biasa-biasa saja. Dan bukan hanya soal lebih baik atau lebih buruk, hasil terjemahan kadang benar-benar berbeda “bentuk” dengan teks aslinya; ada semacam penyesuaian yang dilakukan si penerjemah, termasuk menghilangkan beberapa bagian dari teks asli yang dirasanya tidak cocok bagi para pembaca yang ia tuju. Ini terjadi, misalnya, pada Grotesque-nya Natsuo Kirino. Novel ini, dalam versi bahasa Inggrisnya, dihilangkan sedikit bagian akhirnya oleh si penerjemah-cum-penyunting dan ini berdampak pada tidak lagi samanya genre yang (seolah-olah) diusungnya, dari novel (sastra) menjadi thriller-detektif. Untuk cerita berjudul “Cinta dan Sampah” ini sendiri, saya tidak tahu tergolong ke yang mana.

    Hal pertama yang menarik perhatian saya dari cerita ini adalah idenya, yang tersirat pada judul. Cinta dan Sampah. Bisa jadi sebagian pembaca, ketika dihadapkan pada judul ini, sudah mulai bertanya-tanya apa kiranya yang hendak diutarakan si cerita, apakah cinta yang didefinisikan sebagai sampah atau cinta yang menjadi sampah atau yang lainnya. Di tubuh cerita ini sendiri, kita mendapatkan informasi terkait hal ini; bahwa perasaan cinta yang dimiliki seseorang bisa seketika terlihat sebagai sampah belaka di detik hubungan percintaannya kandas–segala hal yang semula dirasa indah dan menyenangkan jadi terasa buruk dan memuakkan ketika hubungan itu berakhir. Mereka yang pernah mengalami cinta dan atau hubungan percintaan tentu bisa memahaminya. Cinta itu ilusi. Cinta itu buta. Si penulis lantas melontarkan sebuah pernyataan yang menarik: “Kusadari, cinta ternyata tak hanya buta, tapi juga tuli, menumpulkan penciuman, serta menghambat indra perasa dan peraba.”

    Kita anggap saja ini adalah cara pandang si penulis terhadap cinta; ia mendefinisikan ulang, lewat pikiran si tokoh, arti cinta yang sebenarnya, yang tentunya berasal dari apa-apa yang dia alami. Terlepas dari kita sependapat atau tidak dengannya, pendefinisian ulang ini menarik, dan kita perlu menghargainya. Lagi pula apa yang dilontarkan si penulis–lewat tokohnya itu–terasa masuk akal jika kita mengamati apa-apa yang dialami si tokoh; ia memiliki motif yang kuat dan jelas untuk muncul di titik itu. Dengan kata lain, kita tidak merasa di ceritanya ini si penulis hendak menguliahi kita.

    Tentang pendefinisian ulang itu sendiri, bagian ini mungkin perlu disorot: “Sampah itu berguna, terutama jika didaur ulang. Namun, cinta yang tak berbalas sungguh hanyalah dedak yang bisa membelenggu hati. Tak lebih. Sampah masih lebih baik.” Di sinilah si penulis secara kentara memperbandingkan cinta dengan sampah, dan yang menarik adalah ia memosisikan cinta sebagai sesuatu yang lebih buruk dari sampah. Tentu kita, lagi-lagi, boleh tidak sependapat. Tetapi bahwa yang dilontarkan si penulis–atau si tokoh–ini masuk akal, itu tak terbantahkan. Ia mengatakan bahwa sampah masih bisa didaur ulang dan karenanya ia berguna, sedangkan cinta, terutama cinta yang tak berbalas, tidak bisa. Saya tidak tahu dengan pembaca yang lain, tapi saya sendiri belum pernah mendengar cinta diperbandingkan dengan sampah. Ini hal baru bagi saya dan karenanya saya menyukainya.

    Hal lainnya yang menarik perhatian saya dari cerita ini adalah pemeriannya yang di beberapa bagian begitu detail. Detail ini, berguna untuk meyakinkan kita bahwa apa yang dituturkan si tokoh itu benar terjadi, bukan sesuatu yang dikarangnya semata. Atau setidaknya terkesan seperti itu. Kegunaannya yang lainnya barangkali adalah ia memudahkan kita untuk membayangkan seperti apa dunia di dalam cerita, dan itu bisa menjadikan kita merasa dekat dengan dunia tersebut, bahkan mungkin berada di dalamnya.

    Bagian ini, misalnya: “Demikianlah kisahnya bagaimana aku menjadi kurator museum cinta kami dan terus memantau hubungan Magda dan diriku. Setiap potongan kertas, tisu, tiket bioskop, kartupos, label pakaian, stoking robek, kantong teh celup kamomil bekas, pena yang sudah habis tintanya, bekas bungkus pasta gigi, resep kue cokelat yang buruk fotokopiannya, baju renang yang dia pakai saat kami berlibur di Yunani, guntingan foto-foto, selimut dari pesawat, kaleng-kaleng kosong–kubawa semuanya ke apartemenku dan kusimpan di dalam kotak-kotak penyimpanan serta album foto.” Benda demi benda disebutkan. Benda satu menggantikan benda yang lain. Ini akan terasa lebih menarik jika kita memvisualkannya, seolah-olah kita tengah melihat sebuah tayangan film. Benda-benda itu, satu per satu, dimunculkan dan disebutkan. Jika kita mempertimbangkan penggunaan tanda koma (dan bukannya tanda titik) untuk “memisahkan” benda-benda itu kita mungkin berpikir bahwa tempo pergantiannya itu cepat. Dan ini bisa memberi kita kenikmatan lainnya.

    Contoh lainnya: “Aku berdiri di sisi tong sampah besar, membuka kotak terakhir dan membuang sisa koleksi museum: baju dalam Magda yang talinya sudah putus; kotak kentang McDonald’s berminyak (dengan kata “Budapest” tertulis di sudut); bebat lutut Magda yang kotor (dua pasang); satu dus besar kondom (belum dipakai; yang sudah dipakai, karena Magda bersikeras menolak, tak kusimpan); piyama yang dikenakan Magda ketika kali pertama dia mengatakan bahwa dia mencintaiku; hasil tes dokter yang memastikan dia hamil (tapi ternyata tidak); hasil tes dokter yang memastikan dia tidak hamil (tapi ternyata hamil); secarik kertas yang ditulisi Magda: kamu dan aku? (dan aku tak tahu kata-kata apa yang mendahului pertanyaan itu); dan banyak lagi barang yang satu demi satu, tanpa pandang bulu, kulemparkan ke dalam tong sampah besar untuk menjalani proses transformasi tragis dari koleksi museum yang bernilai menjadi remah sampah kota yang tak bermakna.” Kembali, benda demi benda dimunculkan, satu per satu. Di sini kita bahkan disuguhi informasi-informasi yang sesungguhnya tidaklah penting seperti yang tertera di dalam tanda kurung. Di satu sisi, kita bisa melihat hal ini sebagai buang-buang ruang semata. Di sisi lain, kita bisa memanfaatkan hal ini untuk menerka-nerka apa-apa saja yang telah dilakukan kedua tokoh itu dan bagaimana sesungguhnya kehidupan cinta mereka, juga apa yang sebenarnya mereka lakukan untuk bertahan hidup. Si penulis menyajikan kepada kita semacam pintu masuk, namun ia membebaskan kita dari memasuki pintu itu atau tidak, juga dari apa-apa yang akan kita lakukan selepas memasuki pintu tersebut. Dan hal ini pun, agaknya menarik.

    Hal berikutnya yang menarik perhatian saya dari cerita ini adalah kebiasaan unik si tokoh utama. Dikisahkan, ia “mendokumentasikan” aktivitas-aktivitas percintaannya, dengan cara menyimpan (dan kelak memuseumkan) benda-benda tertentu yang memiliki keterlibatan kuat dalam aktivitas-aktivitas tersebut. Celana dalam dan kutang si perempuan, misalnya. Atau tiket bioskop dan stoking yang robek. Ini bisa dikatakan tidak biasa–mungkin juga tidak normal–dan karenanya ia menarik perhatian kita. Namun sesuatu yang tidak biasa ini tetap terasa masuk akal, sebab itu memang sesuatu yang mungkin terjadi. Satu hal yang barangkali sangat disayangkan adalah bahwa kita tidak diberi informasi (yang cukup) tentang pekerjaan si tokoh utama padahal itu bisa menjadi motif yang kuat bagi aktivitasnya yang tidak biasa ini. Jika ia adalah seorang kolektor atau kurator, misalnya, apa yang dilakukannya ini akan terasa lebih masuk akal lagi. Bagaimana si tokoh tersebut sampai berinisiatif melakukan hal tersebut juga kurang dijelaskan, padahal ini pun bisa menjadi motif pendukung yang kuat. Misalnya, apakah ia melakukannya karena celana dalam dan kutang si perempuan begitu menggemaskan, ataukah ia ternyata sudah melakukannya juga ketika ia menjalin hubungan percintaan dengan perempuan-perempuan lain sebelum perempuan itu. Saya tidak tahu apa pertimbangan si penulis sehingga hal-hal ini tidak ia sertakan dalam cerita. Mungkin batasan ruang. Entahlah. Tapi jelaslah cerita ini akan tampil dalam wujud yang lebih baik jika saja hal-hal tersebut ada di dalamnya.

    Itulah kira-kira hal-hal menarik dari cerita ini. Sekarang, saya akan berbicara soal masalah-masalah yang dimilikinya.

    Dikisahkan si perempuan tiba-tiba memberitahu si tokoh utama, dalam acara makan malam perayaan hari jadi kelima mereka, bahwa hubungan percintaan mereka harus berakhir. Si perempuan berbicara panjang lebar selama kira-kira dua puluh menit (meskipun pada awalnya ia berkata apa yang akan dikatakannya itu tak akan memakan waktu lama; tabiat si perempuan, barangkali) dan setelahnya ia pergi. Si tokoh utama, di titik ini, digambarkan diam saja, duduk di meja itu seorang diri, dan tak berusaha mengejar si perempuan untuk menyelamatkan hubungan percintaannya dari kehancuran. Selepas itu pun si tokoh utama ini digambarkan menerima-menerima saja. Sebuah pertanyaan lantas timbul di benak saya: seberapa besar sebenarnya rasa cinta si tokoh utama ini terhadap si perempuan?

    Jika kita mempertimbangkan kebiasaan unik si tokoh utama dalam menjalani hubungannya dengan si perempuan, yakni dengan mengkoleksi dan memuseumkan benda-benda yang dianggapnya memiliki keterlibatan kuat dengan aktivitas-aktivitas tersebut, kita mendapati bahwa si tokoh utama ini benar-benar menikmati hubungan percintaannya dengan si perempuan, dan itu mungkin berarti ia sangat menyukai dan mencintai si perempuan. Ini seperti dibenarkan dengan fakta bahwa mereka sudah menjalin hubungan percintaan itu selama lima tahun. Dan tentulah, jika dugaan kita ini benar, reaksi si tokoh utama terhadap keputusan sepihak si perempuan di acara makan malam itu sedikit aneh. Mungkin akan terasa wajar jika di acara makan malam tersebut ia mencoba mengejar si perempuan, atau setidaknya sedikit-sedikit membantah perkataan-perkataannya. Dan akan terasa lebih wajar lagi jika dikisahkan setelah malam itu ia beberapa kali mencoba menghubungi si perempuan untuk memintanya kembali. Dan hal-hal semacamnya. Ini untuk menunjukkan saja bahwa rasa cinta yang dimilikinya terhadap si perempuan memang besar, dan nyata. Dihadapkan pada reaksinya yang terkesan datar itu kita jadi menduga-duga jangan-jangan si tokoh ini sudah tidak lagi mencintai si perempuan seperti pada tahun-tahun sebelumnya; pada tahun kelima hubungan mereka ia merasa hubungannya dengan si perempuan tak lebih dari sebuah ritual belaka dan karenanya ia tak merasa itu begitu penting untuk dipertahankan.

    Tetapi sebenarnya, peluang untuk itu memang ada, dalam arti si penulis memberi semacam petunjuk ke arah sana. Kalimat ini, misalnya: “Memang benar, seiring bertambah dahsyatnya koleksi museum cinta kami, aku lebih berkembang menjadi seorang kurator ketimbang seorang kekasih.” Kalimat ini menerangkan bahwa sikap si tokoh terhadap hubungannya itu memang mengalami perubahan, tidak lagi seperti di awal-awal ia menjalaninya dulu. Dan jika kita berkaca pada kalimat ini, maka kita mungkin mendapati reaksi datar si tokoh tadi itu wajar-wajar saja. Akan tetapi, coba simak kalimat-kalimat berikut ini: “Tapi aku melakukan semua itu justru demi cinta, bukan untuk merongrong cinta kami. Seandainya Magda bersedia mendengarkan aku, segalanya pasti akan jauh berbeda. Tapi kini semua sudah terlambat.” Kalimat-kalimat ini diletakkan setelah kalimat tadi, dan itu artinya perubahan sikap si tokoh tadi, meskipun memang memberi motif bagi reaksi datarnya atas keputusan sepihak si perempuan, menjadi tidaklah begitu kuat; tidaklah cukup kuat untuk benar-benar menjadi motif atas hal tersebut. Penekanan ada di kalimat kedua. Di sana terlihat jelas si tokoh ini masih sangat mencintai si perempuan. Maka dari itu semestinya ia mencoba berjuang lebih keras lagi. (Tentang kalimat kedua ini, sebenarnya agak aneh. Kata-kata “seandainya Magda mendengarkan aku” menunjukkan bahwa ia pernah berusaha mengajak si perempuan kembali, namun di tubuh cerita adegan tersebut agaknya tidak ada.)

    Masalah berikutnya dari cerita ini adalah pada kemunculan ide tentang sampah itu sendiri. Perhatikan kalimat-kalimat ini: “Pramusaji itu mengangguk, mengosongkan asbak lalu menaruhnya di dekatku. Tak ada orang lain sama sekali di seberang meja. Saat itulah, tepatnya, gagasan tentang sampah melintas di benakku.” Saya jujur saja tidak memahami keterkaitan adegan tersebut dengan ide tentang sampah. Apakah aktivitas mengosongkan asbak bisa dianggap membuang sampah? Jika benar, maka memang keterkaitan itu ada, dan cukup kuat. Tapi perhatikan bahwa melintasnya ide tentang sampah itu dimunculkan bukan setelah adegan mengosongkan asbak tersebut, tetapi yang satunya lagi, yakni tentang tidak adanya siapa pun lagi di seberang meja. Dengan kata lain, jika kita mencoba berpikir runut, ide tentang sampah ini melintas di benak si tokoh setelah ia menyadari kursi di depannya tak lagi diduduki si perempuan, atau siapa pun. Dan adakah keterkaitan antara kedua hal tersebut? Saya kira tidak. Kalaupun ada, itu sangat lemah. Akan oke saya kira jika kalimat kedua tersebut dihilangkan saja.

    Masalah selanjutnya adalah tentang keputusan sepihak si perempuan. Itu begitu tiba-tiba. Tidak ada keterangan mengenai apa-apa yang bisa menjadi motif pendorong bagi hal ini, semisal tingkah laku si perempuan terlihat aneh dalam beberapa bulan terakhir, atau semacamnya. Memang hal ini terbilang wajar sebab perempuan itu bukan si tokoh utama dalam cerita. Akan tetapi, bahkan si tokoh utama pun tak menyadari perubahan si perempuan? Itu agak aneh. Simak kalimat ini: “Kini aku berdiri di dalam labirin itu–dan rupanya Magda telah lama menemukan jalan ke luar dari situ–dan menatap heran saat ternyata semua benda itu kini telah kehilangan kilaunya” Kata-kata “dan rupanya Magda telah menemukan jalan keluar dari situ” menandakan bahwa si tokoh utama ini sebelumnya tidak menyadari hal tersebut; ia baru menyadarinya setelah perempuan itu memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Agak aneh. Tapi masalah sebenarnya adalah bahwa si tokoh utama ini tidak berusaha mengingat-ingat apa-apa saja kira-kira perubahan yang ada pada diri si perempuan.

    Mungkin, apa yang berusaha dikemukakan si penulis dalam ceritanya ini adalah bahwa sebuah hubungan percintaan bisa berakhir begitu saja, seolah-olah tiba-tiba. Saya katakan “seolah-olah” sebab di mata si perempuan mungkin tidak seperti itu. Si lelaki memang merasa semuanya baik-baik saja, tetapi sesungguhnya ia hanya tidak menyadari bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi, sedikit-sedikit, sejak lama.

    Hal semacam ini bisa kita temukan dalam cerita Haruki Murakami yang berjudul “Lederhosen”. (Anda belum membacanya? Bacalah.) Di cerita ini, dikisahkan seorang perempuan, setelah ia kembali dari liburannya di Jerman, tiba-tiba langsung pulang ke rumah orangtuanya dan kemudian memberitahu suaminya bahwa ia ingin bercertai. Si suami tak memahami hal ini, sebab sebelum perempuan itu pergi ke Jerman mereka sempat bercakap-cakap dan tak ada keanehan yang dirasakannya. Tapi kemudian, dengan berfokus pada si perempuan, digambarkan apa yang sebenarnya (mungkin) terjadi. Si perempuan yang tadinya hendak membeli sebuah lederhosen untuk suaminya, ketika ia menyaksikan lederhosen itu dicoba oleh seorang Jerman yang tidak ia kenal, seperti seketika tersadar bahwa ia tidak lagi mencintai suaminya; bahwa suaminya itu sudah seperti orang lain dan bukannya lelaki yang dikenalnya dulu. Masuk akal. Mungkin si lelaki Jerman yang memakai lederhosen itu diperbandingkannya dengan sosok suaminya yang juga mengenakan celana tersebut, dan ia mendapati dirinya bertanya-tanya mengapa ia menjadi istri dari lelaki itu. Hal semacam inilah, saya kira, yang semestinya ada di ceritanya David Albahari ini.

    Tapi tunggu. Mungkin itu tidak apple-to-apple, sebab di cerita ini segalanya difokuskan pada si tokoh utama, si laki-laki. Kalau begitu, mari kita coba bandingkan dengan cerita Haruki Murakami yang lainnya, “UFO in Kushiro”. Di cerita ini dikisahkan seorang perempuan, setelah berhari-hari menyaksikan berita tentang gempa di televisi, tiba-tiba pergi ke rumah orangtuanya dengan membawa semua barangnya, dan ia meninggalkan sebuah memo yang di sana dijelaskannya mengapa ia pergi dari rumah dan bahwa ia meminta cerai. Memo inilah, yang menjadi motif kuat dari apa yang dilakukan si perempuan. Meskipun itu sangat tiba-tiba, tapi memo tersebut menjadikannya terdengar mungkin, dan karenanya hentakan yang semula terasa itu jadi sedikit-sedikit teratasi. Memang kita tak bisa memastikan apakah yang dikatakan si perempuan di dalam memo itu benarlah kenyataan atau bualannya semata. Tapi terlepas dari hal itu, ia bisa menjadi motif yang kuat. Dan dari tingkah laku aneh si perempuan selama berhari-hari mengamati berita tentang gempa pun kita bisa mendapatkan sebuah motif lainnya. Tingkah aneh. Keanehan. Inilah yang rasanya kurang dari cerita “Cinta dan Sampah” ini.

    Sekarang saya akan beralih ke masalah kalimat.

    Perhatikan kalimat ini: “Ketika Magda berkata kepadaku bahwa hubungan kami telah berakhir, aku tidak berpikir tentang sampah.” Saya kira, kata “tidak” di sana diganti saja dengan “belum”. Kenapa demikian? Sebab itu lebih beralasan. Dengan mengatakan “belum” maka si penulis–atau si tokoh–secara tidak langsung memberitahu kita bahwa di suatu titik ia akan berpikir tentang sampah. Sedangkan jika menggunakan “tidak”, hal tersebut tidak tersampaikan. Lagi pula terdengar aneh juga. Memangnya siapa juga yang akan berpikir tentang sampah pada keadaan seperti itu?

    Kemudian kalimat ini: “Seulas senyum masih saja bermain di bibirku.” Saya kira kalimat ini terdengar genit, dan mungkin norak. Akan oke kalau kalimat ini dibuat sederhana saja seperti: “Seulas senyum masih terpasang di wajahku.”

    Lalu kalimat ini: “Itu semua bermula kala aku meminta pakaian dalam yang dia pakai pada malam ketika kami bercinta untuk kali pertama.” Kata-kata “itu semua bermula” agaknya bermasalah. Mengapa? Sebab yang diinformasikan kalimat ini adalah soal bagaimana si tokoh memulai kebiasaan uniknya, yakni mengoleksi dan memuseumkan benda-benda tertentu yang dirasanya memiliki keterlibatan (atau keterkaitan) yang kuat terhadap hubungan percintaannya dengan si perempuan, sementara apa-apa yang diinformasikan sebelumnya adalah ide tentang sampah. Maksud saya begini: Si tokoh memberitahu kita bahwa di benaknya tiba-tiba melintas ide tentang sampah, lalu kemudian yang dijelaskannya kepada kita adalah soal bagaimana ia dulu memulai kebiasaan uniknya itu. Tidakkah itu aneh? Saya tidak bisa memberikan alternatif yang oke bagi kalimat ini, tetapi jelas ia mesti diubah.

    Selanjutnya kalimat ini: “Saat aku membuangi apa yang hingga belum lama ini menjadi koleksi museum cintaku, otot-ototku terasa ngilu akibat kerja keras.” Ada dua hal di sini. Pertama, kata “membuangi” itu seharusnya “membuang”. Kedua, kata-kata “akibat kerja keras” sama sekali tak perlu ada; mereka bisa dihapus dan kalimat akan terdengar lebih oke.

    Berikutnya: “Aku takjub sendiri pada betapa cepatnya saat cinta lenyap bersamaan dengan hati yang berbalik seperti kaos kaki, meski aku yakin ini bukan salahku.” Yang benar itu “kaus kaki”.

    Seperti itulah kira-kira feedback saya untuk cerita David Albahari ini. Sampai jumpa di feedback selanjutnya. 🙂

    Bonus info: Bagi yang ingin mendapatkan informasi terkait blog ini lebih cepat, anda bisa invite saya dengan PIN 53E2E9D1. Ada sebuah grup yang saya kelola (namanya Sastra Minggu, tapi di BB, bukan facebook) dan anda bisa meminta saya untuk memasukkan anda ke sana. Anda memasukkan diri anda ke sana sendiri juga bisa, sebenarnya.

    Bonus info lainnya: Bagi yang ingin membaca cerita-cerita saya (mungkin sedikit penasaran seberapa timpang feedback-feedback saya dengan cerita-cerita saya) bisa segera meluncur ke sini: https://ardykresnacrenata.wordpress.com/

    Bonus foto: Takayangi Akane (Churi)


Tinggalkan komentar