Arturo

INI sebuah kisah biasa belaka tentang pertemuan dan perpisahanku dengan Arturo. Ia orang Belanda yang dilahirkan dengan nama depan yang terlalu Latin dan perawakan yang kurang Eropa. Matanya terlihat bengis dan rahangnya akan membuat iri para preman pasar. Ia datang ke Indonesia sebagai ahli periklanan.

Pada hari pertama perjumpaan kami, aku melihatnya duduk sendirian di sofa lobi kantorku. Setelannya lebih rapi daripada bosku sendiri. Kemeja putih, celana bahan hitam, sepatu hitam. Kalau kau bekerja di Unilever atau Direktorat Jenderal Pajak, busana seperti itu akan sangat normal. Tapi aku bekerja di sebuah agen periklanan Amerika, dengan seorang bos yang bisa datang dengan kaus bergambar Led Zeppelin dan pulang “berseragam” LA Lakers. Ketika Michael menatap aku yang masih berdiri memegangi pintu kaca, astaga, mendadak sontak aku berpikir ibuku terlalu lembek mendidikku.

“Ah, Bara, sepertinya rekor datang pagimu punya penantang sekarang,” ujar bosku yang kini tampak terlalu konvensional dalam segi apa pun. “Ini Arturo, kawanku waktu di pusat dulu.”

“Halo, Pak.”

“Arturo.”

“Halo, Arturo.”

Arturo menjabat tanganku sambil tersenyum dingin. “Saya sudah mendengar tentang semua anggota tim Michael. Dia memberimu delapan. Tapi kalau kau bisa mendapat lima saja, saya bisa membuang obat tidur ke kloset.”

Aku menengok ke arah bosku, lalu ke cermin di sebelahnya, hanya untuk memastikan apakah wajahku yang menuntut penjelasan memang tidak menggusur citra pelawak Kasino yang terkandung dalam diriku sehingga ia malah tertawa.

Penilaian terhadap sosok diriku itu muncul saat perayaan Hari Kemerdekaan tahun sebelumnya. Satu minggu sebelum tanggal 17 Agustus, aku jatuh tifus dan telepon genggamku rusak; aku harus bertahan dengan telepon genggam lama yang hanya punya tiga fungsi—telepon, SMS, dan mengajarkan keihklasan. Aku masuk kembali dengan badan yang masih lemas, tanpa tahu kabar terbaru yang biasa beredar di grup WhatsApp. Begitu pintu ruang kerja kubuka, semua orang berdandan aneh. Ada yang menjadi pemain sepak bola, selebritis, dan tokoh-tokoh Indonesia lain yang populer. Bahwa tak ada satu orang pun yang berkostum pahlawan cukup membuatku heran ketika kutahu itu semua untuk merayakan tujuh belasan. Begitu kutanya kemudian, mereka menjawab dengan perkataan yang selalu takut kuucapkan ulang. Di sanalah ketidakdandananku dibaptis semena-mena sebagai mirip pelawak Kasino. “Ah, Bara,” kata bosku. “Selamat!” Ucapan selamat semestinya belum kehilangan peran sebagai pertanda baik kalau tiket liburan gratis ke Bali dua hari itu tidak ditambah peraturan di papan tulis: Pemenang dandanan terbaik harus menyuguhkan penampilan seperti tokoh yang ditirunya selama lima belas menit setelah makan siang selama seminggu.

Teman-temanku beberapa kali menceritakan soal ini juga ke Arturo tapi ia tidak mengerti. Kata temanku, agak susah untuk menerjemahkan lirik “Nyanyian Kode” ke bahasa Inggris tanpa kehilangan kadar lucunya.

Namun, tanpa ia menertawakan bagaimana aku menyanyikan lagu itu dengan tubuh kejang bak orang diracun pun aku bisa berteman dekat dengan Arturo. Berkat ganja.

Sekitar dua minggu setelah kedatangannya, Arturo bertanya padaku soal itu. Aku sedang menggarap teks iklan pukul sebelas malam. Di kantor, hanya tersisa aku, Arturo, dan desainerku yang bolak-balik ke toilet.

“Bara,” katanya, menghampiri mejaku. Dua minggu bukan waktu yang cukup untuk membiasakan diri dengan gaya bicaranya yang singkat menusuk. Seperti damak yang melesat dari sumpitan, langsung menancap ceruk antara bagian bawah kepala belakang dan tengkuk. Aku bahkan tak sanggup menoleh. “Kau mengisap ganja?” Ia berdiri di sisi kiri mejaku.

Aku yakin wajahku kembali melakukan kebiasaannya memusuhi rasa malu sebab Arturo tertawa setelah agak lama melihatku. Kelak kuingat, itu pertama kali ia tertawa lepas. Tapi waktu itu, indera pertama yang bekerja padaku adalah hidung sehingga aku lebih dulu mencium parfumnya ketimbang apa pun. Ia lantas menyentuh pundakku yang kurasa sebagai cengkeraman. Kakiku gemetar dari lutut ke bawah.

“Santai saja. Saya berharap jawabannya ya, kok.”

“Ya.”

“Sungguh?”

“Kadang-kadang.”

Ia menyeret paksa kursi dari meja lain dan mendudukinya di sebelahku.

“Dengar,” ucapnya sambil mendorong wajahnya ke wajahku sampai kepala kami bertubrukan, “di mana saya bisa mendapat yang oke tanpa harus ke klab?”

“Kenapa tidak ke klab, Arturo?”

“Oh, ayolah, jangan pura-pura bodoh. Kau pernah ke klab, kan? Membeli itu di klab maksudku?”

Aku menggeleng. Ia mendesis. Aku siap dengan segala kemungkinan.

“Begini saja, di mana kau biasa beli?”

“Seseorang.”

“Bagus. Malam ini bawa aku ke sana.”

“Tapi kita tidak bisa datang begitu saja, Arturo.”

“Kita, tidak. Kau, bisa.” Ia menunjuk titik di tengah kedua mataku.

Pukul satu malam aku menumpang mobilnya menuju tempat kamar kos kenalanku. Orang ini mantan teman sekampungku yang tidak lulus-lulus karena terlalu menelan mentah-mentah ungkapan “proses belajar tidak pernah berakhir”. Aku mengabari akan datang tapi tak memberi tahu apa pun soal adanya orang lain bersamaku. Mobil Arturo kuminta menepi di depan sebuah Circle K. Aku berjalan kaki menelusuri gang yang gelap. Belum pernah ke tempat itu larut malam, aku seperti berjalan dalam ingatan yang paling ingin kubuang. Bulan mengguyurkan cahaya seadanya sehingga warna merah sepatuku terlihat seperti darah kering. Udara dingin kurasakan menyentuh, menyergap, kulitku meski aku mengenakan sweter. Dua ekor kucing bertengkar, mengagetkanku dari dekat gerobak yang teronggok di depan warung yang sudah tutup. Itu cuma kucing, tapi aku berjalan merapat selokan sambil tanganku merayapi tembok kasar peuh tonjolan batu. Bau busuk dari bawah sana naik ke hidungku. Tanpa sadar aku mempercepat langkahku. Sampai di depan pintunya, aku mengirim pesan ke telepon genggamnya. Ia membuka pintu, melongok ke luar, menengok kanan-kiri. Aku ikut melakukannya. Ia langsung menarikku masuk.

Ruangan yang selalu tampak acak-acakan itu kelihatan lebih mengerikan saat malam. Sepeda yang ia letakkan di samping kasur sungguh memakan ruang. Ikan mas di akuarium bulat tampak hidup dalam kesengsaraan yang ditimpa putih remang cahaya lampu. Kertas-kertas dan buku-buku berserakan. Temanku mengambil sebuah buku dan menunjukkannya padaku. “Camus. Ingat tidak?”

Aku ingat, jawabku.

Ia memakai kacamata tebalnya dan mulai melinting. Ia tahu aku suka yang praktis. Aku memijat-mijat ujung kasur sambil melihat sebuah lukisan cat air yang tidak ada di sana saat aku berkunjung sebelumnya. Gambar wajah setengah manusia setengah bumi. Dari luar kamar, terdengar seseorang berjalan. Kami langsung berdiri. Ia menyimpan barang-nya di bawah kasur. Aku baru mengerti mengapa film-film selalu melengkapi adegan menegangkan dengan detak jarum jam; mereka tetap butuh peluru melesat ke jantung mereka walaupun dalam situasi sunyi tanpa adegan tembak-tembakan. Beberapa menit kemudian, langkah kaki itu tak terdengar lagi. Ia cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya. Kami langsung menukar hak kami dan aku kembali ke tempat Arturo menunggu.

Setelah tiga kali memakai strategi yang sama, Arturo ingin ikut menemui temanku. Aku menolak, tentu saja. Ia memaksa, menekanku.

“Ayolah, Bara. Aku mulai mencintai negara ini karena apa yang kita lakukan!”

“Kenapa begitu, Arturo?”

“Di sinilah penikmat sejati seharusnya berada. Negaraku hanya cocok untuk pemula atau banci!”

 Aku tak pernah memenuhi keinginannya itu.

 —

SELAMA enam bulan berikutnya, setelah transaksi demi transaksi, Arturo menampakkan sisi yang lain di mataku. Ia masih tetap terlihat bertampang penjahat, tapi aku juga jadi merasa diriku seperti itu karena ia sering melibatkanku dalam setiap mimik jahatnya. Wajah itu tidak lagi menangkapku sebagai korban, tapi menggandengku, mengajakku untuk percaya begitu jugalah wajahku. Aku mulai merasa suaranya yang seperti itu memang harus seperti itu untuk membuatnya Arturo. Aku mulai memakluminya, juga kalau sedang sendiri, mencoba menjadi sepertinya.

Aku kini percaya waktu adalah magnet yang gigih bisa menarik cerita seberat besi. Arturo mencicil tarikan itu dengan berbagai pengakuan sederhana, misalnya cinta matinya pada Elvis yang membuatku hampir mati waktu menyetel Arctic Monkeys keras-keras. (“Bara,” ia menggebrak mejaku, “Matikan itu sekarang atau kupaksa kau melumasi bulu kemaluanmu dengan minyak rambutnya!”). Ia bercerita tentang kalung milik mendiang nenek buyutnya yang konon pemberian dari lelaki Jawa, yang kalau Tuhan tak ikut campur mengirim lelaki Meksiko ke hidupnya, akan jadi suaminya. Ia juga bercerita tentang anjing peliharaan yang mengingatkannya pada mantan pacarnya yang menikah dengan orang lain. “Bukan karena kami membelinya berdua. Atau karena ia memakaikan kalung ke anjing itu. Tapi karena suatu pagi sehabis membersihkan rumput, kulihat anjing itu sedang disetubuhi anjing liar,” katanya.

Di dalam mobil suatu hari menuju ke Circle K kami, ia bertanya padaku, “Apa yang paling kautakuti?”

 “Tetap miskin. Kehilangan pekerjaan. Dan bila ibuku tidak bisa makan. Begitulah, Arturo.”

Ia tersenyum. Bibirnya menarik garis yang ujungnya hampir menyentuh tulang pipi.

“Dengar, Bara,” ia berkata, “yang paling kucemaskan adalah anakku.”

“Kau punya anak, Arturo?”

“Ya, tiga tahun usianya, tinggal bersama mantan istriku. Kautahu kenapa aku cemas tentang dia? Karena dia milikku.”

Aku tak mengerti. Aku menduga itu adalah racauan filosofis seperti yang sering kudengar di berbagai film di luar negeri. Aku diam, dan ia tak melanjutkan. Aku merekam wajahnya, gayanya, dengan kedua mataku. Beginilah lelaki yang keren, pikirku. Aku menyukai rambut hitam keritingnya yang agak gondrong sebab hanya itu bagian dirinya yang kumiliki. Aku tak lagi menemukan kebengisan, aku menemukan ketegasan. Aku membayangkan, di suatu masa, seseorang yang tak kukenal, yang seharusnya kupanggil ayah, juga mengalami masa seperti itu.

Tiga minggu setelahnya Arturo pamit. Di kantor diadakan pesta perpisahan, tapi perpisahan sesungguhnya untukku adalah ketika ia mentraktirku sebotol bir sewaktu aku kembali dari kamar kos temanku dan menemuinya di Circle K untuk terakhir kali. Perpisahan sesungguhnya adalah ketika ia tak mengambil sedikit pun barang hari itu dan menyuruhku membawa pulang semuanya. Perpisahan sesungguhnya adalah ketika aku kehilangan selera mengisapnya.

Posisi yang ditinggalkan Arturo di kantor digantikan oleh seorang wanita bule gemuk dengan kulit berbintik-bintik. Aku tak menyukai orang itu. Ia tak pernah mau kalah, selalu merasa ide-idenya (yang ia sebut “datang dari pengalaman global”) jauh lebih brilian dibanding darah yang mengucur dari otak kami. Desainerku mengundurkan diri karena tak tahan dengan omong kosong wanita itu. Aku menyusulnya sebulan kemudian.

Lalu aku menghabiskan waktu menganggurku dengan melamun. Sesekali aku merawat kebun di samping rumah ketika aku sedang butuh pelarian dari kebiasaan merawat kecemasanku sendiri. Aku mendengar bagaimana ibuku mengomel hampir setiap hari dan itu membuatku takut. Kautahu, kenapa aku takut padanya? Karena dia milikku.

Aku jadi jarang berada di rumah. Temanku mengajakku ke tempat A, dan aku tak menolak. Temanku yang lain mengajakku ke tempat B, dan aku akan berada di sana. Tadi pagi seorang temanku mengajakku menonton siaran langsung sepak bola di sebuah mal, dan di situlah aku sekarang. Aku menatap layar dengan pengetahuan sepak bola semata kaki. Tak mengerti siapa yang membawa bola, siapa yang terjatuh. Kemudian semua orang berdiri, melompat, seperti hendak menghancurkan tempat ini. Gol baru saja dicetak. Temanku menepuk bahuku, menyuruhku berdiri. Aku menurut.

“Siapa yang mencetak gol?” tanyaku.

“Apa?” Ia berteriak sambil menyodorkan kuping.

“Siapa yang mencetak gol?” kukerahkan semua kecemasanku, ketakutanku, pada pertanyaan itu.

“Robben. Pemain Belanda.”

Seketika aku mengingat seseorang. Aku duduk kembali dan memikirkan bagaimana kami bertemu, lalu berpisah.(*)

 

Rizaldy Yusuf, lahir di Tangerang, 21 Oktober 1991. Bekerja di Jakarta.

Ditayangkan di Koran Tempo edisi 7-8 Mei 2016

Gambar oleh Munzir Fadly

Satu pemikiran pada “Arturo

Tinggalkan komentar