Selamat Ulang Tahun, Bulan yang Menggantung di Langit

Cerpen Clara Ng (Koran Tempo, 10 November 2013)

Image287

(Gambar oleh Yudha AF)

PESAWAT dari Singapura mendarat pada jam dua siang di landasan pacu bandara Soekarno-Hatta. Suara salah satu kru kabin menggema, memberikan laporan penutup tentang kondisi cuaca Jakarta dan mengingatkan penumpang agar tidak menyalakan telepon genggam sebelum pesawat berhenti total. Lima belas menit kemudian, Irena bersama tumpahan penumpang lainnya berjalan melewati lorong imigrasi. Telepon genggamnya bergetar.

“Mam, sudah tiba?”

“Barusan.”

“Sori, Mam, Lori nggak bisa menjemput. Banyak pasien.” Irena sudah menduganya. “Nanti Pak Rudi menunggu di luar. Lori menitip kunci apartemen sama Pak Rudi.”

Telepon dimatikan. Irena memasukkan telepon genggam di kantung bajunya. Dia berjalan dengan tenang, melewati konter imigrasi dengan mulus, dan berbelok untuk mengambil satu koper kecil di tempat pengambilan tas.

Kedatangan Irena ke Jakarta bukan karena keinginannya, tapi karena undangan dari Lia, saudara sepupunya yang menyiapkan pesta ulang tahun ayahnya yang kesembilanpuluh, yang jatuh pada dua hari lalu. Ayahnya adalah paman Irena, suami dari adik ibunya. Perayaan ulang tahun itu terpaksa diubah tanggalnya karena Paman harus melakukan cek kesehatan. Tapi tidak apa. Justru karena itu, Irena mendapatkan tiket Singapura-Jakarta pulang-pergi dengan harga lebih murah.

Di teras bandara, Irena bertemu dengan Pak Rudi, supir pribadi anaknya. Lelaki itu langsung mengambil alih koper seretnya dan membantu Irena menuju tempat parkir mobil. Barusan Irena menutup pintu mobil, telepon genggamnya bergetar lagi.

“Ren, nanti pestanya jam enam. Tapi kalau mau datang sekarang, boleh juga.”

“Aku pulang dulu ke apartemen Lori, Kak Lia.”

“Oke, terserah.” Irena nyaris menutup percakapan, tapi Lia masih melanjutkan. “Oya, hari ini kamu ulang tahun, kan? Selamat ulang tahun, Ren. Yang keberapa nih?”

“Lima-lima.”

Setelah bertukar basa-basi, telepon pun dimatikan. Irena duduk menyender di jok belakang mobil. Dia memejamkan matanya. Sudah berapa tahun berlalu sejak dia meninggalkan rumah keluarga Paman di Kebayoran Baru? Dulu waktu selesai SMA, Irena pergi ke Jakarta untuk kuliah. Dia tinggal di sana sampai menikah dengan Yogi, lalu pindak ke Depok.

Pikirannya melayang-layang. Sejak dulu, Irena tidak pernah dekat dengan saudara sepupunya walaupun mereka tinggal bersama-sama di rumah Kebayoran Baru. Lia lebih suka menghabiskan waktunya dari malam sampai subuh di antara bar dan kafe. Pekerjaannya sebagai fotografer fashion menyeret Lia memiliki gaya hidup yang tidak sama dengan Irena.

Ganjil juga ketika dua minggu lalu, Irena menerima SMS dari Lia. Saat itu Irena sedang memasak bubur untuk cucunya yang sedang tertidur di buaian. Dia sendirian di dapur. Jam sepuluh pagi, tidak ada suara apa-apa kecuali televisi yang dinyalakan dengan volume paling rendah. Anaknya bersama suaminya yang berkewarganegaraan Singapura sudah keluar sejak jam enam pagi, mengejar kereta bawah tanah MRT seperti para eksekutif muda lainnya.

Lia mengundang Irena untuk datang ke pesta ulang tahun ayahnya. Pesta kecil-kecilan, begitu katanya di SMS. Merayakan Papa yang mencapai usia sembilan puluh tahun. Bisakah Irena pulang ke Jakarta pada hari itu? Please.

Pikiran Irena terputus ketika mobil tiba di apartemen Lori di bilangan Kuningan. Irena melewati penjagaan sekuriti tanpa masalah, masuk ke lift menuju lantai dua belas. Dia membuka pintu dengan kunci yang dititipkan Pak Rudi. Keheningan apartemen langsung menyambut dirinya. Keheningan yang janggal, yang tak pernah dimiliki Irena.

Irena berjalan ke dapur, meninggalkan kopernya di sana. Tak ada suara sedikit pun dari sol sepatunya yang menyentuh marmer. Dapur bersih mengilat seakan-akan tidak pernah tersentuh. Irena berdiri beberapa menit di sana tanpa melakukan apa-apa, lalu dia berjalan ke ruang tengah. Dengung mesin kulkas terdengar lirih, cukup jelas dari tempatnya berada. Irena duduk bersandar di sofa. Dia tidak tahu apakah tertidur atau tidak, mungkin di antara itu, tapi cukup lama waktu berlalu. Matahari mulai turun di arah barat. Irena bergerak perlahan menuju kamar mandi. Saatnya merapikan diri.

 
PAMAN berjalan dengan bantuan tongkat di usianya yang sembilan puluh tahun. Pundaknya tidak melengkung seperti kebanyakan lelaki tua lainnya. Kepala Paman telah botak seluruhnya, meninggalkan wajah dengan tulang pipi yang tirus. Irena mengambil gelas sambil melirik Paman. Lelaki tua itu ternyata sedang memandangnya dari ujung ruangan. Sinar mata Paman tetap sama seperti puluhan tahun lalu, hangat dan maskulin. Tatapan mereka bertemu di udara. Irena meneguk air minumnya dengan tenang. Dari ujung matanya, dia melihat Paman menghampiri Irena dengan gerakan menyeret.

“Selamat ulang tahun, Ren.” Suara Paman terdengar berat, tapi usia tua membuat suara itu menjadi serak dan lebih kering.

“Selamat ulang tahun, Paman.” Irena meletakkan gelas lalu mengulurkan tangannya. Jari-jemari Paman terasa kurus dan kasar.

“Saya meminta Lia agar mengundangmu ke Jakarta, apa pun caranya. Terima kasih sudah datang.”

Irena mengangguk maklum. Pantas, Lia tidak pernah sengotot ini kepadanya.

“Sembilan puluh tahun. Apa rasanya berada di usia sembilan puluh tahun, Paman?”

Paman tersenyum, menampilkan giginya yang sangat sempurna. Irena tahu, itu gigi palsu. Ujung matanya menciptakan kerut-kerut yang tampak seperti cakar di sepanjang dahi. Dia menepuk punggung tangan Irena dengan pelan.

“Mari, kita duduk di perpustakaan.”

Irena menguntit Paman dan duduk di salah satu sofa; namun Paman bangkit dari tempat duduknya, lalu tertatih pindah ke sebelah Irena. Dia merebahkan tongkatnya di dekat kakinya.

“Apa rasanya berada di usia lima puluh lima?” tanya Paman dengan nada yang persis sama dengan yang diucapkan Irena ketika bertanya kepadanya.

Irena tidak menjawab. Dia mengangkat bahunya.

“Saya berada di usiamu ketika kamu datang pertama kali di rumah ini.” Paman berbicara dengan suara lamban. “Waktu itu, rambutmu panjang. Bergelombang. Kenapa kamu memotongnya sependek ini?”

“Karena panas.” Irena tidak mengatakan bahwa sejak usia empat puluh tahun, rambutnya sering rontok sehingga menjadi tipis. Memotongnya pendek-pendek adalah usahanya agar kerontokan tidak semakin menjadi-jadi. “Ribet kalau mengurus Alena. Dia baru bisa belajar jalan.”

“Cucumu?”

“Cucu perempuan.” Irena mengangkat jari telunjuknya. “Baru satu. Akan bertambah satu lagi di tahun depan.”

Paman tersenyum sekali lagi. “Luar biasa.” Dia terus tersenyum, namun senyumnya pelan-pelan berubah menjadi tatapan panjang ke arah Irena. Tatapan yang tak memiliki kedip. “Saya senang mendengar kamu punya cucu. Kamu bahagia?”

Irena merapatkan bibirnya dengan sedikit kaget. Apakah dia bahagia? Irena tidak tahu. Ini adalah pertanyaan yang sederhana, tapi terdengar rumit. Apakah perlu dijawab dengan sederhana? Atau tidak? Irena tidak sempat menimbang-nimbang terlalu lama. Paman memandangnya seakan-akan membutuhkan jawaban dengan cepat. Akhirnya dia mengangguk.

“Baguslah. Saya senang kamu bahagia.”

“Kalau Paman sendiri?”

“Saya?” Paman terkekeh. Bibirnya pecah-pecah di kedua ujungnya. “Di usia sembilan puluh tahun, tidak ada lagi yang bisa saya minta. Saya sudah memiliki semuanya. Tentu saja saya bahagia.”

“Bahagia dengan almarhumah Bibi?”

Mata Paman bersinar. “Bahagia,” sahutnya pendek. Ada jeda beberapa detik, sebelum dia melanjutkan dengan nada perlahan dan serak, “Bahagia juga waktu denganmu.”

Tatapan Irena menerawang. “Waktu itu saya masih sangat muda. Dua puluh tahun.”

“Ya, saya ingat. Gadis yang pintar dan cantik.”

Irena menggeleng. “Buruk rupa dan bodoh.”

Paman ikut menggeleng. Matanya tersenyum. “Sangat pintar dan cantik. Sampai sekarang.”

Irena mengangkat dagunya, tertawa salah tingkah. “Paman masih belum berubah. Masih pandai merayu.”

“Ini bukan rayuan. Saya tidak pernah salah menilaimu.”

Irena melirik ke pintu perpustakaan. Dia baru sadar, pintu itu tertutup rapat. Tamu-tamu masih berkeliaran di luar, tapi tidak ada yang datang ke perpustakaan. Ini hanya sekadar waktu. Sebentar lagi pasti ada yang sadar si ulang tahun tidak berada di antara mereka. Tatapannya kembali ke arah Paman. Dia memutuskan untuk bertanya sesuatu yang sering menghantui tidur malamnya.

“Adakah perempuan lain setelah saya?”

“Tidak ada.”

Irena tidak percaya, tapi dia memutuskan untuk percaya. Demi ulang tahun Paman. Demi ulang tahunnya. Demi tahun-tahun yang telah hilang di antara mereka.

“Bagaimana denganmu? Setia dengan Yogi, selama-lamanya?”

“Selama-lamanya.”

Mata Paman berkedip. Irena tahu, Paman tidak percaya, tapi dia tidak berkata apa-apa. Ini bukan momen kesaksian. Tidak ada yang harus percaya dengan apa yang dikatakannya.

Tangan Paman bergerak. Dia meletakkan telapak tangannya di paha Irena, lalu mengusap-usapnya dengan lembut. Jari-jari lelaki tua itu bergetar hebat. Irena tidak tahu apakah karena grogi atau penyakit syaraf di usia senja. Sentuhan itu membangkitkan kenangan yang terasa sangat jauh dan samar-samar. Waktu seakan berpindah tempat.

Irena mengulurkan tangan, menyentuh tangan Paman yang penuh dengan bintik-bintik cokelat, lalu menggenggamnya. Selama dua menit, mereka bertukar masa lalu dalam jari-jemari yang saling bertaut. Irena tahu, waktunya tidak banyak. Dia bisa melakukannya sekarang atau tidak sama sekali.

Lelaki itu rupanya memiliki semburan pikiran yang sama. Sebelum Irena bergerak, kepala Paman maju dan mencium bibir Irena. Irena balas menciumnya. Bukan sekadar mencium, yapi juga memagut. Dengan lemah lembut, Irena melekatkan dirinya ke arah Paman, memberikan kehangatan dari tubuhnya yang malam ini dipenuhi ribuan gelombang pasang.

 
LORI tidak datang ke pesta ulang tahun Paman. Pasiennya masih banyak dan tidak habis-habis. Irena pulang sendirian bersama Pak Rudi ke apartemen Lori yang kosong dan hening. Dia tidak menyalakan lampu ketika mendorong pintu apartemen. Cahaya bulan masuk lewat jendela, merembes di bak cuci piring.

Irena masuk ke dapur, berdiri sendirian; merasa seakan-akan baru keluar dari mesin waktu. Kepalanya berputar cepat. Jam sepuluh. Irena bersender di kulkas, merasakan dengungan listrik di punggung tubuhnya. Malam ini dia mendapat kesempatan menjadi perempuan paling kesepian di alam semesta. Namun tidak apa-apa. Kesepian adalah hadiah sempurna untuk sebuah perayaan ulang tahun. Irena mendongak, memandang bulan dari balik jendela. Selamat ulang tahun, bisiknya dari bibir yang terkatup rapat, bulan yang menggantung di langit.(*)

31 Oktober 2013

  

Clara Ng tinggal di Jakarta. Buku-bukunya yang mutakhir adalah Blackjack (novel) dan Pintu Harmonika (novel anak-anak), keduanya terbit pada 2013.

7 pemikiran pada “Selamat Ulang Tahun, Bulan yang Menggantung di Langit

  1. dear penulis..
    kenapa anda harus memasukan adegan ciuman dalam cerpen tersebut..? apalagi ciuman itu dilakukan oleh paman dan keponakannya. tolong jangan menulis adegan seperti itu di surat kabar. makasih

    1. Kenapa jangan, Mbak Merry? Itu kan adegan yang bi(a)sa terjadi di dunia nyata. Dan karena cerpen Mbak Clara Ng ini adalah cerpen realis, maka itu sesuatu yang wajar. Karya sastra toh bukan sebuah panggung untuk semacam kesucian, kan?

    1. Sebenarnya sebuah cerpen tidak perlu bertendensi untuk menyampaikan sebuah nilai sosial. Alih-alih nilai sosial, kritik mungkin yang lebih penting untuk ada. Dan di cerpen ini, kritiknya adalah pada ketidakmampuan manusia untuk menahan diri dari melakukan sesuatu yang dianggap negatif oleh sistem yang berjalan. Bisa jadi kritik tersebut justru terhadap sistem itu. Ini menurut saya.

  2. Info keren nih… buat penggemarnya mbak Clara
    Perlu cara dan ranah tertentu untuk membicarakan seksualitas yang berkualitas. Tidak perlu ragu untuk ikut serta ke dalam bingkai persoalan seks.

    [PSIKOMEDIA PROUDLY PRESENT
    SIKOLASTIK 2015]

    Talkshow bareng Clara Ng (penulis serial novel Indiana Chronicle, The (Un)reality Show, dan Utukki: Sayap Para Dewa)”

    · Minggu,15 NOVEMBER 2015
    · 07.00 – selesai
    · Ruang G100 Fakultas Psikologi UGM

    ~ 50k (talkshow + booksigning)
    ~ 35k (talkshow)

    Reservasi tiket:

    (Nama_instansi_jumlah tiket _50/35)
    Kirim ke CP️088215398854 (Dita)

Tinggalkan Balasan ke crenata011 Batalkan balasan